Judul Asli: Walker, Brett. 2010. Toxic Archipelago: A History of Industrial Disease in Japan. University of Washington Press.
Buku yang mudah dibaca ini menawarkan narasi inovatif tentang hubungan antara bangsa, penderitaan, dan polusi industri. Walker memaparkan analisa tajam atas sejumlah kasus dalam sejarah Jepang, seperti tambang tembaga Ashio di era Meiji, penyakit Minamata, dan Itai-itai (“sakit, sakit”) yang terjadi di periode setelah Perang Dunia Kedua. Menurut Walker, penyebab hibrida (hybrid causation)
melemahkan perbedaan proses penyebab “alami” dan “sosial” atau “manusia” untuk merumitkan “peran politik manusia, ekonomi, teknologi, budaya dalam polusi linkungan dan penyakit industri” (hal. xiv). Cara Walker menggabungkan isu-isu yang biasanya ditelaah secara terpisah ini membuat ulasannya sangat luas. Pembaca yang tidak siap akan mendapatkan narasi buku Walker sedikit membingungkan, tetapi dengan pendekatan yang menggunakan studi kasus memberi nilai pembelajaran yang dapat membantu mahasiswa memahami berbagai sudut pandang analisa dalam melihat kejadian sejarah polusi industri secara lebih mendalam.
Salah satu yang menarik di buku Walker adalah pengamatannya mengenai perbedaan-perbedaan antara pemikiran linkungan orang Amerika dan orang Jepang, yang menurutnya dipengaruhi oleh kata-kata yang tersusun di dalam Hukum Dasar Kontrol Polusi (Basic Law for Pollution Control) tahun 1967. Menurutnya hukum Jepang menargetkan “lingkungan hidup” (seikatsu kankyō) ketimbang “alam liar” seperti yang terjadi di Amerika. Yang pertama “terdiri dari alam dan organisme-organisme yang membentuk habitat manusia,” sedangkan yang kedua “merupakan tempat di mana manusia tidak termasuk di dalamnya” (hal. 217). Walaupun Walker tidak menghubungkannya secara langsung dengan konsep yang dia tawarkan “penyebab hibrida”, dia beragumen bahwa konsep itu mewakili sebagian yang perlu dipelajari dari kasus-kasus sejarah yang dia tulis di bukunya. Mungkin ucapan Walker yang paling kontroversial dalam bukunya—dan ini sangat bergunan untuk mengajak murid-murid untuk berdiskusi—adalah pandangan buruknya mengenai masa depan masalah lingkungan. Dia berujar, “Saya tidak yaking kita sebagai suatu spesies, dapat menyelesaikan masalah-msalah ini dalam waktu singkat, bahkan mungkin tidak sama sekali” (hal. 223).
Walaupun buku ini, yang diterbitkan tahun 2010, jelas tidak menyebutkan bencana nuklir di Jepang, implikasi dari konsep “penyebab hibrida” dapat ditarik dari ranah polusi industri ke ranah kecelakaan nuklir dan apa yang biasa disebut “bencana alam”. Buku ini sangat bermanfaat sebagai materi pembelajaran, terutama untuk mahasiswa S1.
– Yoshiyuki Kikuchi translated by Anto Mohsin